Satu rukun iman yang harus diyakini
oleh setiap muslim adalah iman kepada para rasul, terutama Rasulullah
saw. Bukti utama beriman kepada Rasulullah saw. adalah ittiba’
(mengikuti Rasulullah saw.). Orang-orang yang melakukan ittiba’ kepada
Rasulullah saw. akan meraih banyak nata-ij[1] (manfaat dan buah positif), di antaranya: mahabbatullah (cinta
dari Allah), rahmatullah (kasih sayang-Nya), hidayatullah (petunjuk
dari-Nya), mushahabatul akhyar fil jannah (bersama orang-orang pilihan
di surga), asy-syafa’ah (mendapatkan syafaat dari Rasulullah saw.),
nadharatul wajhi (muka yang bersinar dan berseri di surga), mujawaratu
ar-rasul (menjadi tetangga Rasulullah saw. di surga), ‘izzatun-nafsi
(meperoleh kemuliaan jiwa di dunia dan akhirat), al-falah (kemenangan
dan keberuntungan). Semua itu jelas merupakan as-sa’adah (kebahagiaan)
hakiki di dunia maupun di akhirat.
Pada
pembahasan-pembahasan sebelumnya telah ditegaskan bahwa beriman kepada
para rasul – alihimus salam – adalah salah satu rukun iman dari
rangkaian kesatuan 6 rukun iman. Mengingkari salah satu rukun iman
berarti mengingkari semuanya, begitu pula dengan iman kepada rasul.
Ittiba’ adalah bukti keimanan
Bukti
keimanan kepada Rasulullah saw. yang paling utama adalah mengikuti
beliau dalam segala sisi kehidupannya, selalu mentaati beliau dalam
setiap perintah dan larangan yang beliau sampaikan. Sebab, mengikuti dan
mentaati Rasulullah saw. adalah bukti ketaatan kita kepada Allah swt.,
dan mengikuti sunnah Rasulullah saw. adalah bukti kongkret mengikuti
Al-Qur’an.
“Barangsiapa
yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak
mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa: 80)
Barangsiapa
mengaku mentaati Allah swt. namun tidak mau ittiba’ Rasulullah saw.,
maka ketaatannya itu tidak sah menurut Al-Qur’an; dan Rasulullah saw.
berlepas diri dari orang tersebut. Dan siapapun yang mengaku
melaksanakan Al-Qur’an namun tidak ittiba’ dengan sunnah Rasulullah
saw., maka pengakuannya hanyalah pengakuan palsu belaka.
Sebagai
contoh, untuk dapat melaksanakan shalat dengan sempurna kita memerlukan
hadits Rasulullah saw. karena Al-Qur’an hanya memerintahkan kita
mendirikan shalat tanpa menjelaskan rincian tata cara shalat. Bahwa
shalat diawali dengan takbiratul ihram dan diakhiri dengan salam
merupakan penjelasan yang kita temukan dalam hadits Rasulullah saw.,
tidak dalam Al-Qur’an. Begitu pula dengan rincian pelaksanaan zakat,
shaum (puasa),
haji, dan ibadah-ibadah lain. Intinya, fungsi hadits Rasulullah saw.
adalah menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an atau dengan bahasa lain kita
tidak akan bisa mengamalkan Al-Qur’an tanpa mengikuti sunnah Rasulullah
saw.
“Dan
Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan pada umat
manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka
memikirkan.” (An-Nahl: 44)
Salah seorang ulama besar, Fudhail bin ‘Iyadh, ketika menjelaskan makna “Ahsanu ‘amala” dalam surat Al-Mulk ayat 2 berkata,
أَحْسَنُ
عَمَلاً : أَخْلَصُهُ وَأَصْوَبُهُ. قَالَ: فَإِنَّ العَمَلَ إِذَا كَانَ
خَالِصاً وَلَمْ يَكُنْ صَوَاباً لَمْ يُقْبَلْ، وَإِذَا كَانَ صَوَاباً
وَلَمْ يَكُنْ خَالِصاً لَمْ يُقْبَلْ، حَتَّى يَكُوْنَ خَالِصاً صَوَاباً،
وَالْخَالِصُ أَنْ يَكُوْنَ لِلهِ، وَالصَّوَابُ أَنْ يَكُوْنَ عَلَى
السُّنَّةِ.
“Yang dimaksud dengan ahsanu’ amala (amal yang terbaik) adalah yang paling ikhlas
dan paling benar. Karena sebuah amal jika dilakukan dengan ikhlas tapi
tidak benar, maka amal itu tidak diterima oleh Allah. Begitu pula
sebaliknya, jika amal itu benar tapi tidak ikhlas, juga ditolak oleh
Allah swt. Baru diterima jika memenuhi kedua syarat tersebut (ikhlas dan
benar). Yang dimaksud dengan ikhlas adalah semata karena Allah,
sedangkan yang dimaksud dengan benar adalah mengikuti sunnah
Rasulullah.” (Dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa vol 18/hlm
250).
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((مَثَلِي
وَمَثَلُ مَا بَعَثَنِي اللَّهُ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَتَى قَوْمًا فَقَالَ
رَأَيْتُ الْجَيْشَ بِعَيْنَيَّ وَإِنِّي أَنَا النَّذِيرُ الْعُرْيَانُ
فَالنَّجَا النَّجَاءَ فَأَطَاعَتْهُ طَائِفَةٌ فَأَدْلَجُوا عَلَى
مَهَلِهِمْ فَنَجَوْا وَكَذَّبَتْهُ طَائِفَةٌ فَصَبَّحَهُمْ الْجَيْشُ
فَاجْتَاحَهُمْ)). (رواه البخاري).
Dari
Abu Musa r.a. berkata, Rasulullah saw telah bersabda, “Perumpamaanku
dan perumpamaan risalah yang diberikan Allah kepadaku seperti seorang
laki-laki yang mendatangi suatu kaum lalu ia berkata, ‘Aku telah melihat
pasukan tentara dengan kedua mataku, kuperingatkan kalian dengan
sungguh-sungguh! Segeralah cari selamat (dari keganasan mereka)!’ Lalu
sebagian mereka mentaatinya sehingga mereka segera menghindar dari
pasukan kejam itu hingga selamat, sedangkan yang lain mendustakannya
hingga pasukan itu menemui mereka dan meluluhlantakkan mereka.”
(Bukhari)
Kita
dapat merasakan dari hadits shahih di atas betapa Rasulullah saw. amat
ingin menyelamatkan kita dari bencana dunia dan akhirat dengan syariat
dan dakwah yang ia bawa, karena syariat Islam adalah penyelamat bagi
kita dari kehinaan dunia dan penderitaan di akhirat.
Buah Ittiba’
Berikut ini adalah buah ittiba’ kepada Rasulullah saw.:
1. Mahabbatullah
Natijah
(buah) dari ittiba’ kita kepada Rasulullah saw. jika kita lakukan
dengan benar adalah mahabbatullah (cinta dari Allah swt) sekaligus
maghfirah (ampunan)Nya.
Katakanlah
(hai Muhammad), “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” (Ali Imran: 31)
Cinta
kepada Allah swt. yang dibuktikan dengan ittiba’ kepada Rasulullah saw.
akan melahirkan buah manis berupa cinta Allah swt. Allah swt.
memerintahkan kita mengikuti Rasulullah saw., dan setiap perintah Allah
swt. apabila kita laksanakan dengan ikhlas dan benar pasti akan
mendatangkan cinta dari-Nya. Ketika Allah telah mencintai hamba-Nya,
maka segala kekurangan dan dosa yang terjadi akan mudah diampuni oleh
Allah swt.
2. Rahmatullah
Orang-orang
yang mentaati Rasulullah saw. dengan mengikuti sunnah beliau akan
memperolah rahmat dari Allah swt. Karena orang-orang yang mencontoh
Rasulullah saw. pastilah orang-orang yang berbuat baik atau ihsan (ingat
makna ahsanu ‘amala menurut Fudhail bin ‘Iyadh di atas), dan
orang-orang yang berbuat ihsan amat dekat dengan rahmat Allah swt.
“Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain, mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat,
menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu
akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.” (At-Taubah: 71)
“Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” (Al-A’raf: 56).
3. Hidayatullah
«إِنَّ
لِكُلِّ عَمَلٍ شِرَّةً، وَلِكُلِّ شِرَّةٍ فَتْرَةً، فَمَنْ كَانَتْ
فَتْرَتُهُ إِلَى سُنَّتِيْ فَقَدِ اهْتَدَى، وَمَنْ كَانَتْ فَتْرَتُهُ
إِلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَقَدْ هَلَكَ» (رواه ابن خزيمة في صحيحه وأحمد في
مسنده والبيهقي في الشعب والطبراني وأبو نعيم).
Rasulullah
saw. bersabda, “Sesungguhnya setiap amal itu mempunyai puncak semangat,
dan setiap semangat memiliki titik jemu (lesu). Maka barangsiapa
kelesuannya tetap dalam sunnahku berarti ia telah mendapat petunjuk
(dari Allah), dan barangsiapa kelesuannya tidak dalam sunnahku berarti
ia celaka. (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Ahmad dalam Musnadnya,
Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, At-Thabarani dan Abu Nu’aim).
Hadits
di atas menegaskan bahwa tetap berada dalam sunnah Rasulullah saw.
dalam segala keadaan akan mendatangkan tambahan petunjuk dari Allah swt.
Oleh karenanya, orang-orang yang beriman selalu berusaha mengikuti
sunnah Rasulullah saw. ketika sedang bersemangat atau sedang lesu
(kurang semangat). Ia tidak membiarkan dirinya hanyut dan terbawa
bisikan setan sehingga membuatnya jauh dari hidayah Allah swt.
4. Mushahabatul Akhyar fil Jannah
0 komentar:
Posting Komentar